Pendidikan Islam tertinggal karena penyempitan pemahaman bahwa
aspek kehidupan akhirat yang terpisah dengan kehidupan dunia, atau aspek
kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani, agama dan bukan agama,
yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang ini
disebut sebagai cara pandang dikotomis. Hingga kini pendidikan Islam masih
memisahkan antara akal dan wahyu, pikir dan zikir, yang menyebabkan adanya
ketidakseimbangan pola fikir, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme
religius dalam dunia pendidikan Islam , karena pendidikan Islam lebih
berorientasi pada konsep abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai
konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
Pada tataran praktis di lembaga
pendidikan, pendidikan Islam dihadapkan pada 4 masalah pokok, yaitu alokasi
waktu belajar sangat minim, kurikulum yang tidak berkembang, pembelajaran yang
monoton, kurang perhatian dan sumberdaya pendukung. Yang terjadi kemudian,
pendidikan Islam hanya dipandang sebagai pelengkap, hanya sekedar menggugurkan
kewajiban amanat undang-undang. Dianggap penting, tetapi bukan prioritas
kepentingan.
Sekularisme
Memisahkan antara dunia dan
akhirat, kehidupan dunia dan agama, menganggap urusan agama dan pendidikan
Islam sebagai pengalaman pribadi adalah paham sekuler. Jarang ada orang mau
mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang
sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional
bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Sekularisme hanya menolak peran
agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama
agama hanya menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata
kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu
tetap sistem pendidikan sekuler, walaupun para individu pelaksana sistem itu
beriman dan bertaqwa sebagai individu. Pada kenyataannya sistem pendidikan kita
adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan
antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang
dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagamaan, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya
dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan umum. Sistem
pendidikan dikotomi semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang
berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan
sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi
pendidikan tampak pada pendidikan Islam melalui madrasah, madrasah diniyah,
pendidikan tinggi keagamaan (PTK), dan pesantren yang dikelola oleh kementerian
Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah,
kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh 2 Kementerian Kemdikbud dan
Kemristek Dikti. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu
kehidupan (iptek) dilakukan oleh Kemristek Dikti dan dipandang sebagai tidak
berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian
terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama
ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal,
bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Penyelesaian problem utama ini
diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam ,
merumuskan kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam ,
kemudian mengembangkan secara empiris prinsip-prinsip yang mendasari terlaksananya dalam
konteks lingkungan (sosio dan kultural) Filsafat Integralisme adalah bagian
dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang
berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Kurikulum yang Tidak Berkembang
Tujuan pendidikan Islam selama ini
diorientasikan sangat ideal, sehingga tujuan tersebut tidak pernah terlaksana
dengan baik. Orientasi pendidikan agama, , barangkali dalam konteks era
sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi. Hal ini
patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif,
dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan
yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan
cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan Islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan
social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
Sistem sentralistik terkait erat
dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak bawah harus melaksanakan seluruh
keinginan pihak atas. Dalam sistem yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan
muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot.
Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada
praktik pendidikan Islam sangat sarat, sehingga seolah-olah kurikulum itu
kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak
terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam realitas sejarahnya,
pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan
paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat
dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan
daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama Islam , serta disiplin
mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman
tujuan makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran
Pendidikan Islam . (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolutis
kepada cara berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan
menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam .(3) perubahan dari tekanan
dari produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada
proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan
dari pola pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang hanya mengandalkan pada
para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan Islam ke arah
keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk
mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
Ada sebuah anekdot sekitar
pedidikan Islam di sekolah; TK belajar Shalat, SD belajar Shalat, SMP
belajar Shalat lagi, SMU sama belajar lagi tentang Shalat, tapi kenapa begitu
kuliah malah tidak Shalat. Jawaban sederhana dari anekdot itu, karena kurikulumnya tidak
berkembang, cuma mengulang-ulang, dan hanya menyentuh aspek kognitif; hanya
belajar ilmu tentang Shalat, bukan hakekat Shalat. Akibatnya hanya menganggap
shalat sebagai kewajiban, bukan kebutuhan.
Pembelajaran yang Monoton
Proses pembelajaran sangat besar
pengaruhnya dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa. Idealnya pembelajaran
akan mampu membangkitkan potensi, memberikan motivasi, menggali minat,
mengembangkat bakat, memupuk keterampilan, mengembangkan kompetensi melalui
pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual. Pola pembelajaran yang demikian
akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing
dalam arus perkembangan zaman. Siswa bukanlah manusia yang tidak memiliki
pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia
miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa harus kritis membaca kenyataan
kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita
menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan
metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan
tidak ada tantangan untuk berpikir.
Kenyataannya profesionalisme guru
dan tenaga kependidikan belum memadai secara kuantitatif, banyak guru dan
tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga
mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar kualitatif. Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah
sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang
memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras
dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa,
kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis
dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter
dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri
terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan
untuk berpikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
Hal ini pada gilirannya menjadikan
belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan
(memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa
abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya
komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
Kurang Perhatian dan Sumberdaya
Pendukung
Perlakuan diskriminatif pemerintah
terhadap pendidikan Islam terjadi karena Pemerintah selama ini cenderung
menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal
dana dan persoalan kesejahteraan; alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat
jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas (Mahfudh
Djunaidi, 2005).
Persoalan lain adalah rendahnya
kesejahteraan guru agama, yang berimplikasi langsung terhadap kualitas
pendidikan Indonesia. Akibatnya banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan mengajar di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang
ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya. Dan itu semua mengganggu terhadap efektifitas pembelajaran.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) meningkat. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan
dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi
gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka
yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal.
Hasil penelitian Balitbang
Kementerian Agama RI berjudul Penelitian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
di Perguruan Tinggi Umum tahun 2015 menunjukkan bahwa Peran dan fungsi PAI di Perguruan
Tinggi umum lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan
organisasi kemasyarakatan dibandingkan dengan peran dosen PAI. Dikesankan
fungsi dan tanggungjawab dosen PAI di PTU telah diambil alih oleh organisasi
kemahasiswaan maupun oleh organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan
kampus, melalui berbagai tawaran kegiatan
keagamaan yang dikoordinasikan oleh mahasiswa maupun ormas.Namun diakui,
kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan
dan organisasi kemasyarakatan yang diikutinya lebih banyak mengembangkan
ide-ide pemikiran radikal dan transnasional.
Penelitian di atas cukup memberikan
fakta bahwa institusi pendidikan telah nyata diliputi fenomena radikalisme
secara kuat. Kenyataan ini hendaknya menjadi alarm dan lampu kuning bagi kita
semua, baik oleh aparatur pemerintah maupun masyarakat, untuk menaruh perhatian
serius terhadap layanan PAI pada sekolah dan PTU, termasuk bagi dosen PAI pada
PTU. Dosen PAI pada PTU yang sementara ini mewakili sebagai kekuatan sumber
daya manusia yang handal sekaligus agen perubahan (agent of change) dalam
mengkonstruk masyarakat hendaknya memiliki kesadaran, keterampilan, serta
kejernihan fikiran yang baik. Jangan sampe, dosen malah justeru malah menjadi
bagian dari masalah radikalisme itu sendiri.
Pemicu utama dari masalah diatas
adalah perhatian pemerintah yang tidak berimbang, alokasi anggaran untuk sector
agama masih sangat jauh dari ideal. Kongkritnya; meskipun sekolah-sekolah di
bawah Kemdikbud sudah dialokasikan di Kementerian, di daerah masih dialokasikan
oleh Pemda, dan gaji guru disediakan oleh dinas terkait, sementara di madrasah,
apalagi pesantren, semua masih dialokasikan satu anggaran di pusat, include
gaji dan tunjangan profesi. Masih diperberat lagi dengan tunjangan guru agama
sekolah, yang mestinya melekat di gaji, dimana gajinya dari daerah. Apalagi di
perguruan tinggi, pesantren ataupun madrasah diniyah.
Sumber : http://diktis.kemenag.go.id/NEW/index.php?berita=detil&jenis=artikel&jd=967#.YOHy2JgzbDc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar